Romantisme Pabrik Kecap Tradisional Majalengka
Meskipun setiap harinya komposisi bahan-bahan untuk membuat kecap selalu tidak berubah, tapi Oman Taufiqqurrahman selalu setia mencatatnya disecarik kertas dan disusun dengan rapih.
“Ini untuk bukti, kalau setiap hari komposisi kecap buatan kami tidak berubah, dan sayapun mencatat setiap hasil kecap yang dibuat dari 100 kilogram kedelai hitam setiap harinya,” ujar Kang Oman demikian panggilan akrab Oman Taufiqqurrahman, saat ditemui diruang kantor merangkap ruang pamer dan penjualan produk kecap Maja Menjangan.
Bukan hanya carikan kertas komposisi dan hasil produksi yang tersusun rapi. Koran HU. “Pikiran Rakyat” yang sudah dilanggan (Alm) H. Sa’ad Wangsadidjaja, sang empunya pabrik kecap Maja Menjangan sejak puluhan tahun juga tersusun rapi di rak yang berdampingan dengan lemari tempat botol kecap yang tidak kalah tersusun rapi.
Romantisme masa lalu Pabrik Kecap CV Maja Menjangan yang didirikan H. Sa’ad pada tahun 1940, berlokasi di Jalan Suha 209 Kota Majalengka, bukan hanya suasana ruangan kantor yang merangkap ruang pamer dan penjualan produk kecap. Tetapi bangunan rumah yang masih belum berubah sejak dibangun oleh keluarga H. Sa’ad dengan dinding batu alam sandstone berwarna kekuning-kuningan, juga menjadi daya tarik wisatawan minat khusus.
Kota Majalengka yang selama ini dikenal dengan julukan Kota Pensiunan, dalam lima tahun terakhir mulai memiliki magnet sebagai daerah tujuan wisata minat khusus. Selain gedung-gedung tua peninggalan tuan tanah dan perkebunan tebu, pabrik-pabrik kecap tradisional yang hingga kini masih bertahan, juga menjadi salah satu tujuan berwisata.
“Semula memang hanya mereka yang hendak mengadakan penelitian. Namun belakangan setelah televisi dan koran memberitakan, banyak komunitas ataupun wisatawan tersendiri yang datang berkunjung,” ujar Kang Oman.
Layaknya perjalanan wisata minat khusus yang umumnya dilakukan, wisatawan akan disuguhi berbagai keterangan. Hebatnya, Kang Oman sangat pintar membuat wisatawan untuk tinggal berlama-lama pabrik. Sambil menghirup aroma gula aren diolah menjadi wedang (cair) untuk bahan campuran air hasil permentasi kedelai hitam, pengunjung akan diajak berkeliling.
Biasanya waktu kunjungan antara pukul 9.00WIB hingga 17.00WIB atau bertepatan pada waktu kerja. Namun Kang Oman tidak akan menolak pengunjung yang datang sebelum jam kerja untuk melihat proses awal pembuatan kecap hingga akhir.
Menurut Asep Mulyana, salah seorang kerabat H. Sa’ad yang kini menjadi staf di Bidang Kepariwisataan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, membanjirnya wisatawan minat khusus ke Kota Majalengka, khususnya ke pabrik kecap tradisional yang jumlahnya tinggal belasan pabrik, terjadi pasca pembongkaran Pabrik Gula Kadipaten berikut jalur rel kereta api pengangkut tebu dan dibukanya jalur Kereta Wisata Jakarta-Cirebon pada tahun 2007 lalu.
“Semula, wisatawan minat khusus ataupun komunitas tertentu dari Jakarta, Bandung, dan bahkan dari luar negeri datang (kabupaten) Majalengka untuk mengunjungi pabrik gula dan menikmati perjalanan menggunakan lori (kereta tebu berbahan bakar ampas tebu) dan gotrok (kereta ditarik kuda atau sapi). Tapi pasca pembongkaran akhir tahun 90-an wisatawan minat khusus mulai beralih ke Kota Majalengka untuk menikmati bangunan tua dan pabrik kecap tradisional,” ujar Asep Mulyana.
Selain pabrik kecap tradisional Maja Majalengka milik H. Sa’ad, pabrik kecap tradisional yang juga menjadi buruan wisatawan adalah pabrik kecap Segitiga (H. Lukman), Roda Bersayap, Matahari dan Ayam Jago. “Kecap-kecap tersebut menjadi trendmarknya Majalengka yang hingga kini masih terus bertahan dan disukai lidah masyarakat dengan tiga rasa itu yang memiliki cita rasa kedelai hitamnya benar-benar terasa,” ujar Asep.
Tidaklah sulit untuk berburu romantisme yang diciptakan pabrik kecap tradisional Majalengka. Karena dimanapun kita bertanya tempat ataupun lokasi pabrik kecap, orang yang kita tanya akan memberikan petunjuk dengan memberikan penawaran ke pabrik kecap mana kita akan berkunjung.
Diakui sejumlah wisatawan belumlah lengkap bila tidak membawa kecap tradisional sebagai buah tangan untuk dibawa pulang seusai berkeliling pabrik dan melihat langsung proses pembuatan. Bahkan tidak sedikit dari wisatawan yang menggelar tikar untuk menjadikan kecap yang menawarkan rasa asin, manis sedang, dan manis sebagai teman makan siang.
“Selain rasa kedelai yang kental, dua merek kecap asli Majalengka itu juga tahan lama. Bahkan bisa bertahan sampai dua tahun. Padahal, kecap tradisional Majalengka diolah tanpa menggunakan mesin dan tanpa bahan pengawet kimia, dimana masing-masing pemilik memiliki resep khusus tradisional, namun mencampurkan garam dalam jumlah banyak pada olahan kecap saat proses fermentasi,” ujar Agnes (23) salah seorang mahasiswi IPB Bogor.
Sekadar tambahan informasi, pabrik-pabrik kecap tradisional Majalengka memproduksi kecap dengan kemasan dalam botol berbagai ukuran. Ada isi 140 mililiter (ml), 250 ml, 300 ml, 500 ml, dan 600 ml. Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai Rp 3.400 hingga Rp 14.000 per botol (Retno HY/”PRLM”)***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/node/144007
Komentar
Posting Komentar